Color Explosion Wall Art


Malam yang gelap dan dingin menghampiri. Cahaya bulan begitu terang dan tiada awan malang melintang di langit, membuat malam itu terasa amat cerah. Suasana begitu tenang. Hanya terdengar gemerisik dedaunan diembus angin, beserta suara tangis gadis berumur sekitar lima belas tahun di sebuah taman yang jaraknya lumayan dari pusat kota. Nampaknya Ia sedang kabur dari tempat tinggalnya. Sebelumnya dirinya sedang berada di tempat karantina di salah satu rumah sakit terbesar di kota ini. Tinggal di sana selama lima belas tahun tanpa mengetahui alasan mengapa dirinya berada di sana, dan setiap hari bayang-bayang kebebasan menghantuinya, serta kenyataan pahit yang baru saja ia ketahui selama ini, membuatnya memutuskan untuk kabur dari tempat tersebut.
Rencana ini dimulai ketika ia sedang mempersiapkan diri untuk masuk ke sekolah pertamanya. Sedari dulu, gadis itu belum pernah mengenyam pendidikan di luar tempat karantina. Para perawat bilang kalau di luar itu “sangat berbahaya” bagi dirinya. Gadis itu selalu bertanya-tanya mengapa para perawat itu tak pernah menceritakan alasan logis dirinya dikurung di rumah sakit ini. Setiap hari ia selalu melihat para dokter dan perawat serta penjaga berbaju serba putih, berlalu-lalang di lorong rumah sakit, membawa orang-orang yang sakit, dan terus berlanjut hingga saat ini. Tiap kali hendak keluar rumah sakit, pasti selalu dicegah oleh para penjaga yang ada di sana. Hal ini benar-benar membuatnya frustasi. Dirinya merasa terkekang, keinginannya tak pernah terpenuhi, dan selalu merasa bosan. Maka terlintaslah dibenaknya akan rencana untuk melarikan diri dari rumah sakit tersebut.
Di hari pertamanya, gadis itu bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Para perawat membawakan barang-barang yang dibutuhkan gadis itu untuk dibawa ke sekolah. Tak sabar ia ingin segera bersekolah, sekalipun tetap saja dijaga dengan ketat oleh para perawat yang tentunya akan menjadi “CCTV”nya di sekolah. Karena selama ini gadis itu hanya belajar membaca dan menghitung bersama perawat yang khusus untuk mengajar di tempat karantina.
“Lisa, ada barang yang tertinggal gak?”
“Kayaknya gak ada, bu”
“Oke. Nanti kita naik mobil khusus dan kamu akan dijaga oleh kami berdua.”
“Kok gitu? Aku pengen main sama temen-temen baruku. Selama ini temen-temenku cuma para dokter, perawat dan pasien yang ada di sini.”
“Hei, kamu cukup menuruti kata-kata kami. Jangan membantah.”
Raut wajah perawat itu membuat Lisa, nama gadis itu, terdiam seketika. Menurut Lisa, perawat itu, yang bernama Bu Siti adalah perawat tergalak di rumah sakit ini. Teman-teman yang berada satu lokasi dengannya juga berpikiran demikian. Untuk teman-teman Lisa sendiri belum bisa menempuh pendidikan bersamanya, karena masih belum cukup umur, sesuai dengan kebijakan rumah sakit ini. Namun untuk beberapa tahun kedepan, ada rencana untuk pembangunan sekolah khusus pasien, sehingga para pasien bisa menempuh pendidikan seperti anak-anak lainnya dan tidak perlu menempuh pendidikan di luar rumah sakit.
Sesampainya di depan gerbang rumah sakit, dada Lisa berdegup kencang karena inilah kali pertamanya menginjakkan kakinya ke tanah di luar rumah sakit. Raut wajah perawat yang berada di samping Bu Siti seketika pucat dan sesegera mungkin menenangkan Lisa.
“Fyuh, hampir saja.”
“Ada apa Bu Tina?”
“Oh tidak ada apa-apa kok Lis. Cepat masuk ke mobil atau nanti kamu terlambat di hari pertamamu dan disetrap.”
“Apa itu setrap?”
“Udah cepetan, gak perlu banyak tanya.”
Lisa masuk lewat pintu belakang, bersama dengan Bu Siti dan Bu Tina. Benar saja, karena mereka naik mobil ambulan yang biasa digunakan untuk antar-jemput pasien.
“Yah, kok naik ambulan sih.” Keluh Lisa. Setengah jam berlalu dan mereka sampai di depan sekolah. Seluruh mata memandang mobil berwarna putih dengan garis merah dan bertuliskan “AMBULANCE” terbalik di bagian depan. Seorang guru berambut tipis dan raut mukanya yang nampak sudah tua menghampiri Lisa.
“Ini nak Lisa ya? Ayo masuk ke kelas. Temen-temenmu pada nungguin tuh.” Kata pak guru. “Ikut pak guru ya Lisa. Jangan nakal-nakal, belajar yang serius biar pinter.” Bu Siti sambil tersenyum turut mengantar Lisa masuk ke ruang kelasnya. Jarang sekali Ia melihat beliau senyum seperti itu, karena hampir setiap hari raut wajahnya selalu masam dan tak enak dipandang.
Jam istirahat hampir tiba. Tidak butuh waktu lama bagi Lisa hingga bisa memiliki banyak teman. Sifatnya yang easy-going dan selalu kepo dengan hal yang kecil sekalipun membuatnya disegani oleh teman-temannya. Terutama Rico, teman sebangkunya. Dengan berbahan kertas yang diremas-remas yang berisi tulisan ajakan untuk berkenalan, cukup satu menit terlewati untuk bisa saling akrab satu sama lain.
Rico orangnya ramah. Dan lagi ia adalah ketua kelas 10. Tak ada yang tak mengenalnya. Belum lagi Rico adalah siswa yang berparas tampan sehingga menjadi idola di sekolahnya. Keberadaan Rico membuat Lisa sejenak melupakan tujuannya untuk kabur dari tempat karantina.
Di saat bel berbunyi tanda jam istirahat datang, Rico mengajak Lisa makan mie ayam di kantin. Ia menceritakan segala hal tentang dirinya mulai dari awal mula ia dikejar-kejar para siswi hingga surat cinta, bunga, dan coklat yang ada di lacinya. Mereka berdua saling berbincang-bincang, bersenda gurau dan tertawa bersama. Lisa merasa kalau pertemuannya dengan Rico adalah suatu anugerah baginya dan tak mungkin melupakannya. Sungguh ini adalah hari pertamanya di sekolah yang sangat indah dan menyenangkan baginya.
Sudah sekitar seminggu berlalu semenjak hari pertamanya masuk sekolah. Para perawat tidak lagi menjadi penjaga dan tukang antar jemput bagi Lisa. Namun sebagai gantinya, ia diharuskan untuk mengenakan gelang dengan LCD dan lampu berkedip warna hijau. Ketika ia menanyakan untuk apa, perawat tidak menjawab. Dan ia tentu tahu apa jadinya kalau dirinya terus-terusan bertanya.
Sepeda baru rupanya terparkir rapi di parkiran. Matanya berbinar-binar ketika ia tahu kalau sepeda ini ditujukan padanya. Pink, feminim, dengan jok belakang. Sepeda yang sempurna baginya. Terakhir kalinya ia menaiki sepeda ketika berumur tujuh tahun. Ia jatuh dan menceburkan sepedanya yang sangat buluk ke dalam got hingga rusak. Sejak kejadian itu Lisa tak pernah menyentuh sepeda lagi. Dan sekarang ia memiliki sepeda. Dalam hati Lisa berjanji kalau dirinya akan menyayangi sepeda itu seperti ia menyayangi sahabat lelakinya, Rico.
“BU, AKU BERANGKAT DULU YA!!” Dikayuhnya pelan-pelan sepeda pink itu dan berangkat ke sekolah meninggalkan perawat itu. Lisa bertemu dengan Rico di depan gerbang sekolah. Rico tersenyum kepadanya. Sungguh naas baginya, ketika melihat Rico dikerubuti para siswi yang sedari pagi menunggu untuk memberikan hadiah berupa coklat dan bunga, karena kebetulan sekarang tanggal 14 Februari, sebuah hari yang biasa disebut “Hari Valentine” atau “Hari Kasih Sayang” dan diperingati dengan cara memberikan coklat dan bunga mawar kepada orang yang disayangi. Lisa yang cemburu segera mengayuh sepedanya dengan cepat menuju parkiran, meninggalkan Rico yang dikerumuni banyak orang.
Saat jam pelajaran berlangsung, Lisa bertukar tempat duduk dengan Nabila, dan tentunya disambut dengan baik oleh Nabila yang sudah mengagumi Rico sejak masa orientasi dulu. Rico heran dengan tingkah laku Lisa hari ini, dan mencoba menerka-nerka apa alasannya, namun tak ketemu juga. Dengan sigap ia memberanikan dirinya untuk bertanya langsung pada Lisa apa yang telah terjadi.
“Ada apa Lisa? Kenapa kamu pindah ke situ?”
“Gapapa kok.”
“Ayolah Lis, aku butuh alasan. Gak mungkin tiba-tiba kamu gini ke aku.”
“Aku cemburu.”
“Hah?”
“Iya, aku cemburu. Kamu puas?”
“Cemburu. Cemburu sama siapa Lis?”
            “Kamu tadi dikerubutin cewek-cewek buat ngasihin coklat sama bunga buat kamu, sampai-sampai lacimu penuh.”
            “Haha, Lis, Lis. Mereka tuh cuma fansku kok, gak lebih.”
“Kamu yakin gak ada rasa buat salah satu dari mereka?”
            Rico terdiam cukup lama. Ia belum pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Di hari-hari biasa, Lisa tidak seperti ini, sekalipun ia dikerubuti para siswi seperti kejadian di depan gerbang sekolah pagi tadi. Jangan-jangan Lisa sedang menaruh hati padanya, hingga ia cemburu melihatnya bersama siswi lain, dan juga kebetulan sekarang adalah Hari Valentine, yang tentu saja Rico mendapat banyak sekali surat cinta dari teman-teman perempuannya. Tapi, apa yang dipikirkannya tadi, ia baru menyadari, kalau Lisa adalah satu-satunya perempuan yang tidak memberinya hadiah di Hari Valentine ini.
            “Oke aku minta maaf, dan sebagai bentuk permintaan maafku, aku traktir kamu bakso beranak di dekat perempatan itu, gimana?” “He-em” Bujukan Rico sukses meluluhkan hati Lisa yang sedang merajuk.
            Momen-momen indah Lisa terus berulang-ulang dan tak pernah sekalipun ia bosan ketika berdua dengan Rico. Sederhana memang, cukup makan di tempat favorit masing-masing, bersenda gurau hingga lupa keadaan sekitar, bagi Lisa ini adalah sebuah kebahagiaan yang tak ternilai harganya.
            Saat pulang sekolahpun, tak pernah mereka berpisah berdua. Bahkan pada suatu saat, dengan ekstremnya Rico memproklamirkan bahwa Lisa adalah pacarnya di depan para siswi yang berkerumunan.
“Lihatlah, dia sekarang adalah pacarku. Aku akan selalu menjaganya. Jadi cukup adegan artis-artisan ini. Hatiku sekarang miliknya. Dan siapapun yang mengganggunya akan berurusan denganku.” Suaranya yang lantang, membuat para siswi meninggalkannya satu per satu dengan melemparkan kado yang ada di tangannya ke tubuh Rico. Kelaspun lengang, hanya ada mereka berdua.
“Kamu gapapa?”
“Gapapa kok, asal ada kamu
“Ngomong-ngomong, yang kamu bilang tadi beneran?” kata Lisa sambil tersipu.
“Gak kok. Kita masih SMA, gak usah ada yang namanya cinta-cintaan. Itu ntar malah bisa ganggu konsentrasi belajarku. Cukuplah kita jadi sahabat yang selalu berdua, oke?” Rico menunjukkan jari kelingkingnya dan mengaitkan jarinya dengan jari kelingking Lisa, pertanda ikatan persahabatan yang kuat.
Lisa tersenyum dengan apa yang dikatakan oleh Rico. Ia sadar kalau belum saatnya ia jatuh cinta. Tanpa disadari, dirinya memeluk erat tubuh Rico. Detik demi detik berlalu, dan secara spontan ia mendorong tubuh Rico hingga terpental. Lisa meminta maaf sambil membungkukkan badannya karena lancang. Rico awalnya panik, namun hanya melemparkan senyum manisnya pada Lisa. Ia sempat melihat lampu indikator di pergelangan tangan Lisa berwarna merah, tetapi kembali berwarna hijau beberapa waktu kemudian.
Di persimpangan jalan, mereka berdua berpisah sambil menikmati senja. Hari yang menyenangkan sekaligus melelahkan ini berakhir sudah, berganti malam bersinar bintang-bintang yang terhampar di luasnya langit gelap. Ia pulang ke tempat karantina, segera bersih diri dan makan malam. Lisa menceritakan kisahnya semasa di sekolah kepada teman-temannya. Mereka amat tertarik dengan apa yang diceritakan oleh Lisa, dan bermimpi bisa sepertinya.
            Keesokan harinya, ia datang ke sekolah, dan seseorang yang dinantinya tidak ada: Rico. Hari demi hari, waktu demi waktu, tak kunjung ia bertemu dengan Rico. Sungguh hampa perasaannya. Rico menghilang tanpa ada yang tahu dimana dia saat ini. Sebelumnya memang Lisa tidak tahu dimana Rico tinggal. Teman-temannya juga demikian. Ia tanyai satu per satu, namun tangannya hampa tanpa ada jawaban yang didapat. Tersiar kabar kalau Rico memang sering berpindah-pindah tempat tinggal sejak SD. Hal ini membuatnya bingung dan merana. Setiap hari kesana kemari Lisa mencari, hingga lelah ia mengayuh sepeda.
Saat di tengah perjalanan, ban sepedanya bocor. Dan kebetulan di dekat sana ada tambal ban. Tanpa basa-basi, ia menuju ke sana. Selesai ditambal, ia membayar biaya tambal ban dan secepat mungkin ia mengayuh sepeda. Kedua bola matanya mengarah pada punggung seseorang yang sudah tak asing lagi baginya, namun dengan seragam yang berbeda. Siapa lagi kalau bukan Rico. Ia menghampirinya dan betapa terkejutnya Rico bertemu dengan Lisa lagi.
“RICO! APA-APAAN INI! KAMU UDAH BEBERAPA HARI MENGHILANG TANPA JEJAK, BIKIN AKU KHAWATIR, GAK KONSEN BELAJAR, GALAU TIAP HARI MIKIRIN KAMU DIMANA! APA KAMU GAK ADA PIKIRAN BUAT NEMUIN AKU DAN NGASIH KEJELASAN KENAPA KAMU PERGI!” Teriak Lisa sambil menarik-narik seragam batik Rico, yang sudah dikenalinya bahwa itu seragam SMA kota sebelah.
“Maaf, Lisa. Aku gak bisa bilang sejelas-jelasnya padamu saat ini. Sampai jumpa.” Ia pergi meninggalkan Lisa dengan wajah yang muram. Lisa yang masih tidak percaya dengan apa yang dilakukan Rico padanya hanya bisa termenung. Tak terasa, air matanya berlinang di pipinya seiring menghilangnya Rico dari pandangannya. Ia tertegun, masih tidak percaya, mengapa semua ini bisa terjadi.
Hatinya kacau. Hancur lebur hingga berkeping-keping. Lisa tak menyangka Rico bertindak seperti tadi. Di sisi lain, Rico benar-benar menyesal telah memperlakukan Lisa sampai segitunya. Sebenarnya ia bisa menjelaskannya secara baik-baik. Sayangnya ia tak bisa mengatakannya secepat itu. Entah mengapa.
Malam harinya Rico berencana untuk membuat kado dan berharap agar Lisa memaafkannya. Dipikirkannya matang-matang kado apa yang akan diberikannya besok, hingga ia tidak bisa tidur. Pukul sepuluh malam dirinya keluar mencari barang kesukaan Lisa dan langkahnya terhenti di toko coklat yang hendak tutup. Seorang nenek tua yang menjaga kasir menatap Rico. Nenek tua itu mempersilakan Rico masuk dan melihat-lihat dulu coklat seperti apa yang akan dibelinya. “Cari coklat untuk siapa nak? Pacar?” pertanyaan itu membuat wajah Rico memerah seketika. Si nenek hanya tertawa kecil melihat lelaki di depannya bersikap layaknya anak muda. “Dasar ya, ABG yang lagi jatuh cinta memang seperti ini. Dulu zaman nenek juga begini. Kayak gak ada ide lain aja, haha. Bagaimana kalau ini? Ini salah satu dari sepuluh coklat terbaik di toko ini. Harganya sih lumayan mahal, tapi sebandinglah dengan kualitasnya. Nenek jamin pasti cewek kamu suka”. Rico memeriksa coklat itu. Butuh waktu sepuluh detik untuknya menentukan apakah coklat itu dibelinya atau tidak. Ia membawa sekotak coklat yang disarankan oleh nenek itu dan memintanya untuk membungkusnya dengan kertas kado. Disodorkannya uang dan diterimanya kembalian. Malam sudah nampak larut. Sudah waktunya pulang dan toko itu untuk tutup dan beroperasi kembali esok hari.
Di waktu yang sama, Lisa berjalan melalui lorong rumah sakit dengan hati yang hampa, setelah apa yang dilakukan Rico sore tadi masih selalu terngiang di kepalanya. Masih terasa sakit dan membekas di hatinya. Ia merasa tubuhnya begitu panas ketika emosinya meluap-luap. Semakin lama ia merasa tubuhnya sangat panas dan melihat gelang indikatornya berbunyi dan lampunya berkedip berwarna merah. Lisa menganggap tubuhnya biasa saja, karena mungkin saja ia agak meriang karena kelelahan. Ketika dirinya melintasi kamar perawat, tak disangka ia mendengar sesuatu yang disembunyikan darinya selama ini.
“Bagaimana menurutmu dengan penyakit yang diderita Lisa? Apakah semakin memburuk?” Tanya seorang perawat yang kelihatannya lebih muda daripada bu Siti. Dan dihadapannya ada Bu Siti yang sedang membuat sesuatu, seperti ramuan obat. “Perkembangannya cukup baik. Emosinya masih mudah dikendalikan. Namun ketika emosinya meluap dan hampir tak terkendali, saya mulai kebingungan bagaimana cara menenangkannya apabila obat ini tidak ada, karena salah satu bahannya mulai mengalami kelangkaan. Dan aku tidak bisa mengendalikan emosinya dengan emosi juga terus menerus”.
” Apa tidak ada alternatif lain?”.
“Sepertinya tidak ada. Saya sudah mencoba meracik obat selama lima belas tahun ini dan efeknya tidak seperti obat dengan ramuan yang biasanya para perawat buat dan tetapkan”.
“Jadi, kita harus berhati-hati dengan emosinya, kalau tidak, akan terjadi bahaya besar yang bisa mengancam tempat ini, bukan, kota ini!”
            Lisa yang semakin bingung dengan apa yang dibicarakan oleh para perawat itu menerobos pintu yang memang tidak dikunci dan ada celah di jendela yang membiarkan suara dari dalam dapat terdengar dari luar, shingga Lisa dapat mendengar percakapan tersebut.
“Hei, Lisa!” Sontak dua perawat yang berada di ruangan berdiri melihat Lisa mendengar apa yang dibicarakannya.
“Jadi, aku ini punya penyakit berbahaya? Aku adalah ancaman? Cepat jawab!” Teriakannya terdengar hingga hampir ke setiap kamar yang memang sangat hening kala itu.
“Begini, Lisa...” Sebelum Bu Siti menjelaskan sesuatu, Lisa kabur bersama sepeda kesayangannya. Perawat satunya melihat lamat-lamat, kalau dari tubuh Lisa keluar uap. Seketika teriakan terdengar dari mulutnya dan memerintahkan seluruh perawat yang ada di rumah sakit untuk mengejarnya. Bu Siti yang sedang menggenggam ponsel, mencari nomor seseorang, dan ternyata adalah Rico. Ia meneleponnya dan memintanya untuk mengejar Lisa. Rico yang mengetahui hal tersebut langsung beranjak dari tempat tidurnya dan berniat mengejar Lisa dengan sepeda.
            Lima belas menit berlalu, dan tempat tujuan Lisa adalah taman bermain. Ia duduk di sebuah ayunan bercat kuning yang nampak terkelupas dan sedikit berkarat. Tak terasa air matanya berlinang. Ia mengutuk dirinya sendiri dan para perawat di rumah sakit. Mengapa ia baru mengetahui hal ini setelah lima belas tahun semenjak ia lahir? Apakah ini alasannya selalu mendapat pengawasan ekstra dibandingkan teman-temannya yang lain? Apa maksud dari berbahaya dan ancaman itu? Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan dari kepala Lisa dan tak henti-hentinya berputar-putar mengelilingi pikirannya.
            Tak lama kemudian, datanglah Rico yang rupanya tak berjalan begitu jauh karena dari tempatnya tadi cukup dekat hingga sampai ke taman bermain. Ia terlihat menggenggam suatu alat pelacak dan Lisa menyadarinya. Ia mengecek gelang di pergelangan tangannya dan dirinya menyadari kalau sedang dilacak oleh Rico.
“Jadi kamu juga, Rico?” Rico terdiam. Ia tak bisa mengatakannya, tapi situasi memaksanya. Akhirnya ia mengungkapkan semuanya, dengan segala konsekuensi yang harus ia terima. Tentunya karena Lisa sudah mengetahui kenyataannya.
“Jadi begini, Lisa. Dulu sekali, ketika kamu lahir dan orang tuamu meninggal beberapa waktu saat melahirkanmu, para perawat dan bidan di sana sudah menyadari suatu keanehan. Ketika kamu menangis, suhu tubuhmu meningkat drastis. Para dokter dari berbagai penjuru dunia menerima informasi ini, dan dibuatlah suatu kelompok peneliti yang memiliki tujuan utama meneliti penyakit yang kamu derita. Kelompok ini berjalan secara diam-diam. Mereka merasa ini adalah suatu rahasia yang begitu besar dan urung untuk dipublikasikan karena baru kali ini ada penyakit seperti itu. Bertahun-tahun penelitian dilakukan. Terdapat satu metode yang bisa mengendalikan penyakit ini sebelum obat penetral ditemukan dan dirasa cukup efektif, namun tidak mungkin selamanya berhasil, yaitu mengendalikan emosimu melalui omelan dan pujian. Ketika kamu dimarahi, emosimu akan memuncak, ini dilakukan ketika kamu sedang sedih atau depresi. Sedangkan ketika amarahmu meledak, para perawat akan menenangkanmu. Hal inilah yang membuat sifat para dokter dan perawat di rumah sakit mudah berubah sesuai perasaanmu. Ketika seorang profesor dari Jerman menemukan ramuan obat penetral, ia mempercayakan ramuan itu untuk dibuat oleh Bu Siti dan para perawat lain, yang merawatmu saat ini. Sehingga emosimu dapat dinetralkan tanpa harus menggunakan metode yang sudah kusebutkan tadi. Penelitian itu membuktikan, bahwa kamu memiliki kelenjar yang bereaksi dengan peningkatan maupun menurunan emosi. Mereka berencana melenyapkan kelenjar itu. Penelitian tersebut sempat terbengkalai karena tidak ada perkembangan yang spesifik darimu. Namun ternyata masih dilanjutkan akhir-akhir ini. Kamu pasti bertanya-tanya, kenapa aku bisa tahu dan bisa melacakmu? Lisa, aku adalah anak dari Bu Siti. Ia memintaku untuk dekat denganmu agar memudahkan dalam mengawasimu. Alasan mengapa aku pergi meninggalkanmu karena aku tidak bisa selalu begini. Aku takut lama-kelamaan aku keceplosan dan membeberkan segalanya. Aku terpaksa menyembunyikan kenyataan ini darimu yang begitu dekat denganku. Aku sungguh minta maaf.”
Air mata Lisa masih mengucur deras. Suhu tubuhnya masih panas. Mungkin saja bisa untuk menggoreng telur. Uap mengepul, membumbung tinggi di udara. Dibalik punggungnya ia mengeluarkan sekotak coklat yang diberikan spesial untuknya. Sambil gemetar ia menyodorkan coklat itu sebagai permintaan maafnya selama ini. Dengan harapan Lisa memaafkannya dan emosinya menurun. Namun tak disangka, emosi Lisa sudah mencapai puncaknya. Tubuhnya sudah seperti besi yang dipanaskan. Merah menyala. Uap semakin mengepul. Rico yang merasa bersalah bersujud sambil berteriak minta maaf padanya. Sungguh dirinya merasa bersalah karena apa yang dilakukannya selama ini.
Dengan memberanikan diri, ia menerobos uap panas yang berhembus mengelilingi tubuh Lisa dan memeluknya dengan erat. Namun sudah terlambat. Dan sungguh naas, tubuh Lisa meledak, hancur lebur menjadi abu bersama dengan Rico yang sempat memeluknya dengan erat. Ledakannya cukup besar hingga mampu meluluhlantakkan taman bermain beserta tempat-tempat di sekitarnya. Meskipun begitu, Rico tak pernah menyesalinya. Setidaknya ia mati bersama orang yang dicintainya, tanpa ragu, meskipun berakhir seperti ini. Sungguh tragis.
Terlambat bagi Bu Siti dan perawat lainnya. Obat penetral baru yang ditemukan oleh profesor dari Amerika, yang saat ini berada digenggamannya, tak mampu menyelamatkan nyawa Lisa beserta anaknya. Selang beberapa detik setelah ledakan terjadi, ia baru sampai di tempat kejadian. Tangisan haru menggema di TKP. Anak satu-satunya harus meledak dan hangus menjadi abu akibat ledakan dari tubuh Lisa. Ia menyadarinya karena melihat bangkai sepeda Rico yang masih bisa ia kenali. Peristiwa ini diabadikan sebagai tragedi bersejarah dan dianggap sebagai kegagalan dari rumah sakit terkemuka di kota itu, sehingga pemerintah memaksa untuk menutup rumah sakit tersebut.
Selang beberapa hari setelah kejadian, Bu Siti membawa karangan bunga dan terduduk di hadapan satu makam. Rico dan Lisa. Makam mereka berdua dijadikan satu karena tak bisa dibedakan mana abu dari keduanya. Ia tahu bahwa Rico menyayangi Lisa, namun rupanya ini yang membawanya kepada malapetaka. Meskipun begitu, ia masih tersenyum, Lisa mampu memberikan sedikit kebahagiaan bagi anaknya. Tak ada lagi yang perlu disesali. Yang harus ia lakukan hanya merelakan kepergian Rico dan Lisa untuk selamanya.






0 Komentar