Pagi ini rupanya terasa lebih dingin dari biasanya. Aplikasi cuaca di ponsel pintar menunjukkan suhu lima belas derajat celcius. Matahari masih enggan muncul dari ufuk timur, menyisakan cahayanya yang semakin lama semakin terasa terang dan hangat. Dan lagi, hari ini adalah langkah awalku menuju jenjang baru. Karena hari ini adalah hari pertamaku memasuki dunia perkuliahan, dunia baru setelah masa-masa indah SMA berakhir. Di sini saya akan dituntut untuk menjadi mahasiswa sejati dan berperan sebagai “Agent of Change” atau dalam bahasa Indonesianya disebut “agen perubahan”. Belajar, tugas, presentasi, praktikum, rapat, organisasi, dan berbagai kesibukan lainnya tentunya akan mengiringi kehidupanku selama kuliah.
            Di waktu yang masih pagi sekali ini, saya dan mahasiswa baru lainnya sedang bersiap-siap menuju stadion di kampus yang tak begitu jauh dari kosku, mungkin sekitar lima ratus meter. Maklum, tidak punya kendaraan pribadi, sehingga kedepannya kalau berangkat ke kampus atau kemana-mana harus jalan kaki. Tapi tak apa, sekalian olahraga biar sehat.
Pakaian atasan putih, bawahan hitam kain, sepatu pantofel hitam, kaos kaki putih, dasi hitam, tas, topi, dan tak lupa jas almamater kampus kebanggaan sudah melekat dengan rapi di badan. Jauh-jauh hari persiapan ini kulakukan agar tidak terjadi kelalaian, karena waktu SMA dulu sering sekali kelupaan. Salah satunya saat diwajibkan membawa atribut ketika upacara sehingga selalu berada di barisan terpisah dari teman-teman yang lain dan itu memalukan sekali. Maka dari itu aku gak mau ngulangin era nakal di SMA. Waktu itu juga sering dibilangi oleh kakakku kalo mahasiswa itu harus bersikap lebih dewasa dan tidak disamakan dengan ketika masih SMA. Yah, dasar-dasar di dunia perkuliahan sudah kudapat dari kakakku yang juga alumni kampus ini, sehingga lumayan sering berdiskusi tentang perkuliahan.
            Alasanku kuliah di kampus ini juga rekomendasi dari kakakku. Aku sangat bersyukur bisa diterima di sini dan masuk ke fakultas idamanku, yaitu fakultas pertanian. Alasan mengapa aku ingin masuk ke fakultas pertanian adalah karena kelak ingin membuat pertanian di Indonesia semakin maju. Dulu juga pernah mendengar istilah “petani berdasi” yang membuatku semakin termotivasi untuk masuk ke pertanian. Teman-temanku yang satu SMA cukup banyak yang diterima di kampus ini. Sayangnya, yang masuk di pertanian tidak ada. Tapi tak apa, nantinya juga pasti akan menemukan banyak teman baru di sana.
            Ketika sedang bergegas menuju stadion untuk melaksanakan upacara penerimaan mahasiswa baru, sejauh mata memandang yang nampak hanya kerumunan mahasiswa yang berbondong-bondong untuk berangkat menghadiri upacara penerimaan mahasiswa baru. Sesampainya di pintu stadion, nampak ratusan, tidak, ribuan mahasiswa baru mulai memenuhi lapangan stadion. Di depan barisan terdapat plat yang menjadi pemisah antarbarisan. Ketika menemukan papan bertuliskan “FAKULTAS PERTANIAN” langsung saja saya masuk ke dalam barisan tersebut. Sambil mengamati keadaan sekitar, ternyata banyak juga mahasiswa yang berasal dari daerah lain. Beberapa dari mereka berbicara dengan bahasa yang tidak kumengerti. Dan yang paling mencolok adalah di dekatku ada mahasiswa dari Indonesia bagian timur. Baru kali ini aku melihat orang-orang seperti ini dengan mata kepalaku sendiri. Selama ini aku hanya tahu lewat media dan cerita saja. Lambat laun aku semakin menyadari kalau Indonesia memang kaya akan keanekaragamannya.
            Upacara berlangsung tertib dan khidmat, kemudian ditutup oleh rektor dengan melakukan prosesi pelepasan balon berwarna merah dan putih diiringi suara sirine yang berbunyi amat keras. Setelah upacara selesai, para mahasiswa tak begitu saja meninggalkan barisan. Banyak dari mereka saling berkenalan satu sama lain, baik laki-laki dan perempuan berbaur menjadi satu. Tiba-tiba seseorang menghampiriku dan mengajakku berkenalan.
“Hai, kenapa diem mulu? Kenalin nih, gue Hikmat. Dari jurusan agroteknologi. Bandung punya, hehe.”
“Oh, iya. Kenalin aku Rahmad. Dari jurusan agroteknologi juga, asal Tuban.”
“Wah kita satu jurusan rupanya. Salam kenal Rahmad.”
“Salam kenal Hikmat.”
            Dari caranya berbicara sepertinya dia memang asli Jawa Barat, karena logatnya yang terdengar cukup familiar karena sering mendengarnya di film atau televisi. Ia berbicara panjang lebar tentang dirinya dan budaya daerahnya tanpa menghiraukan kalau kami baru bertemu, seolah-olah kami berdua adalah teman akrab. Dia nampak begitu easy-going dengan teman-teman yang lain. Lama kelamaan aku dan Hikmat berkenalan dengan beberapa teman yang satu fakultas. Karena cahaya matahari yang terasa semakin terik, mahasiswa lain mulai meninggalkan stadion. Hikmat dan teman-teman lain mengajakku pulang bareng.
Kami pulang bertujuh. Ada aku, Hikmat, Annisa, Bertha, Carolina, Franata, dan Kogoya. Nama mereka (selain Hikmat dan Annisa) masih terdengar asing bagiku karena sebelumnya belum pernah tahu secara langsung. Mereka semua satu fakultas denganku. Hikmat dan Bertha satu jurusan denganku (agroteknologi), sedangkan Carolina dari jurusan peternakan, Franata dari jurusan ilmu tanah, dan Annisa bersama Kogoya dari jurusan agribisnis.
Kebetulan juga kami bertujuh juga berasal dari daerah dan suku yang berbeda-beda pula. Aku dari Jawa, Hikmat dari Sunda, Annisa dari Nanggroe Aceh Darussalam, Bertha dari Medan, Carolina dari luar negeri (Denmark), Franata dari Kalimantan Tengah, dan Kogoya dari Papua. Untung saja ada bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, sehingga kami semua bisa berkomunikasi dengan baik, meski dengan logat dan aksen yang tetap berbeda. Kalau tidak, mungkin kami akan kesulitan untuk komunikasi. Carolina berasal dari Denmark, merupakan keturunan Indonesia-Denmark, dan sudah lebih dari lima tahun tinggal bersama kedua orang tuanya di Indonesia, sehingga telah memperoleh hak kewarganegaraannya pula. Dan dari caranya berbicara sudah cukup fasih berbahasa Indonesia dengan baik.
Berkat kecakapan Hikmat kami berenam menjadi satu. Kalau ada waktu luang pasti sering kumpul bareng, entah itu ngopi, jalan-jalan, makan-makan, jogging, atau aktivitas lain yang berguna untuk menjalin silaturahmi. Tak sampai satu minggu, hubungan kami seolah seperti saudara. Bagaimana tidak, apabila ada masalah pasti secepat mungkin saling membantu tanpa pandang bulu, tak pernah saling meninggalkan, dan merasakan suka dan duka bersama-sama. Mungkin saja ini gara-gara sifat khas orang Indonesia yang ramah dan suka menolong satu sama lain dan sikap gotong royong yang kental.
Suatu ketika terdengar kabar dari kelas kalau Carolina sedang tertimpa musibah. Ia tertabrak mobil yang menerobos lampu merah hingga motornya rusak parah. Kemungkinan si sopir sedang mengantuk. Untuk kondisi terkini masih belum tahu pasti. Setidaknya itu yang kuketahui dari media sosial. Dengan inisiatifku dan Hikmat, kami berdua hendak menjenguk Carolina di rumah sakit yang jaraknya cukup jauh dari kampus, sehingga membuat kami memesan taksi online terlebih dahulu. Namun sebelum itu Hikmat membuat pesan siaran kepada teman-teman yang lain apabila hendak menjenguk Carolina, ia berada di rumah sakit dekat alun-alun kota. Kami hanya berangkat berdua karena yang lain masih memiliki kesibukan masing-masing, sehingga tidak bisa bersama-sama menjenguknya. Namun kebetulan kami bertemu dengan Livia dan Maya, teman satu UKM dengan Carolina, yang hendak menjenguk pula.
“Wah ada kalian berdua, kebetulan nih. Mau jenguk Lina juga ya?” Ujar Hikmat
“Iya nih, yuk masuk bareng.” Kata Livia
“Bentar-bentar, kalian bawa buah-buahan dan susu, sedangkan kami berdua gak bawa apa-apa. Gak enak jenguk sama tangan kosong. Bisa tunggu bentar gak? Aku sama Rahmad mau belanja dulu bentar di minimarket sana tuh.”
“Boleh-boleh. Jangan lama-lama ya.”
“Oke.”
Aku dan Hikmat belanja ke minimarket terdekat. Beberapa waktu kemudian kami berkumpul kembali dan menuju kamar Carolina. Saat Maya mengetuk pintu dan membukanya perlahan, nampak Carolina yang terkulai lemas, masih tak sadarkan diri dengan kepala dan tangan serta kaki diperban, dan disampingnya ada ibunya. Satu per satu dari kami berempat mencium tangan ibu Carolina. Kami duduk di lantai beralaskan tikar dan beliau menceritakan kronologinya dengan detail. Setelah lama berbincang-bincang dengan beliau, aku dan teman-teman yang lain pamit pulang. Dan ketika akan keluar dari kamar, terdengar ketukan pintu dari luar. Livia membukakan dan rupanya teman-teman sekelas Carolina berdatangan untuk menjenguk. Karena keterbatasan ruangan dan juga yang menjenguk cukup banyak, sehingga harus bergantian masuk kamar dan terpaksa menunggu di luar. Sesampainya di halaman rumah sakit, aku dan Hikmat berpisah dengan Livia dan Maya.
“Sampai jumpa besok ya. Kita doakan saja atas kesembuhan Lina supaya bisa segera berkumpul lagi.”
“Aamiin.”
Hari demi hari berlalu. Hampir setiap hari aku dan teman-teman yang lain menjenguk Carolina yang masih tak sadarkan diri. Setiap hari kami semua mengirimkan dan memajang origami burung atau biasa disebut senbazuru di kelas, yang biasanya digunakan oleh masyarakat Jepang untuk mendoakan orang sakit dengan harapan agar penyakitnya segera sembuh.
Sekitar satu minggu kemudian ibu Carolina mengirim pesan padaku, yang waktu itu pernah meminta beliau untuk memberi kabar melalui pesan singkat apabila Carolina sudah siuman. Dan benar, beliau memberitahuku kalau Carolina sudah siuman dan sudah bisa dibawa pulang. Tanpa membuang-buang waktu, kusiarkan kabar ini ke tiap grup yang ada di fakultas.
Selesai kuliah saya dan teman-teman lain pergi ke rumah Carolina untuk menjenguknya. Di rumahnya masih banyak orang yang bertamu, sehingga kami menunggu di teras terlebih dahulu. Setidaknya mendengar kabar kalau Carolina sudah baikan membuat kami semua lega.
            Hari selanjutnya, Carolina sudah bisa masuk kuliah dan disambut dengan hangat oleh kawan-kawan lainnya. Banyak pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan kepadanya yang tak lepas dari musibah yang dialaminya beberapa waktu lalu. Namun ia memilih menyendiri terlebih dahulu. Mungkin karena trauma yang dialami membuatnya tidak ingin mengingatnya.
            Selang beberapa lama, kami bertujuh yaitu aku, Hikmat, Annisa, Bertha, Carolina, Franata, dan Kogoya berencana makan siang di salah satu pujasera terbesar dan terkenal di kalangan mahasiswa maupun umum yang menyediakan masakan dari Sabang sampai Merauke, semuanya lengkap. Baru pertama kali ini kami ke sini, meskipun sudah beberapa waktu yang lalu berlangsung soft opening.
Meskipun menunya lumayan mahal dibandingkan di daerah setempat, setidaknya ini dapat memuaskan kerinduan akan makanan khas daerah. Toh juga jarang-jarang mahasiswa makan makanan mahal. Dan tentunya masing-masing dari kami memesan makanan dan minuman favorit khas daerah. Saya memesan “kare rajungan” yang merupakan makanan khas Tuban. Hikmat memesan karedok, yang merupakan makanan khas Sunda yang terbuat dari sayur-sayuran seperti mentimun, kol, kemangi, taoge, terong, dan kacang panjang. Annisa memesan “mie aceh” yang mienya memiliki bentuk tebal dan kuning, ditemani taburan daging kambing. Bertha memesan menu “natinombur”, yang terbuat dari ikan bakar dan disajikan dengan kuah kental kaya akan bumbu. Carolina memesan “tempoyak”, makanan khas Lampung yang dibuat dengan bahan dasar durian yang difermentasi. Kebetulan Carolina beberapa waktu lalu pernah tinggal di Lampung sehingga tahu akan makanan tersebut. Kemudian Franata memesan “karuang”, makanan yang terbuat dari daun singkong yang ditumbuk. Sedangkan Kogoya memesan martabak sagu, martabak yang dibuat menggunakan bahan dasar makanan pokok daerah sana, yaitu sagu. Untuk minumannya sendiri, kami bertujuh hanya memesan air putih saja.
Cukup lama waktu yang dihabiskan untuk menunggu pesanan karena antrean yang amat panjang dan ramai. Untung saja masih kebagian meja untuk makan bareng. Satu per satu pesanan berdatangan dan setelah semuanya terkumpul, kami bertujuh berdoa menurut agama dan keyakinan masing-masing, dan dipimpin oleh Hikmat. Berdoa diakhiri.
“Sebentar, jangan dimakan dulu. Sebelum waktunya santap makanan, alangkah baiknya saya jelaskan aturan makannya dulu.” Kataku.
“Duh udah laper nih, pake ada aturan segala.” Ujar Bertha.
“Tunggu tunggu, sabar. Gini, biar semua bisa ngerasain makanan khas daerah kalian, gimana kalo tiap satu suapan, ntar diputer ke temen sebelahnya searah jarum jam sampai habis, tapi suapannya gak boleh berlebihan?”
“Wah ide bagus tuh.”
“Oke siap.”
“Boleh boleh”
Akhirnya semua setuju dengan usulanku barusan. Kemudian kami bertujuh menikmati makanan tersebut. Selepas makan-makan, kami saling bercengkerama, bertukar pikiran, dan melakukan aktivitas lain yang berguna untuk mempererat tali silaturahmi. Tak terasa satu jam berlalu, sampai salah seorang pelayan menegur kami karena terlalu lama di meja makan dan harus bergantian supaya pelanggan lain dapat tempat untuk makan pula. Kami semua berpisah di jalan dan siap bertemu kembali esok hari.
Saya amat bersyukur dipertemukan dengan mereka. Dengan ini akhirnya saya benar-benar mengerti apa itu arti dari perbedaan, yang sebelumnya banyak kutemukan di buku pelajaran maupun berbagai media lain. Meskipun kami berasal dari daerah, suku, agama, dan memiliki budaya yang berbeda-beda, namun tidak menjadikan hal-hal tersebut sebagai alasan untuk tidak menjadi satu kesatuan utuh. Seperti semboyan negara kita, Bhinneka Tunggal Ika, yang bermakna berbeda-beda tetapi tetap satu. Kebanggaan menjadi bagian dari Indonesia akan selalu mengalir dalam nadi. Dan pengamalan akan Bhinneka Tunggal Ika akan tetap berlangsung hingga akhir hayat nanti.

Sumber gambar: https://million-wallpapers.com

0 Komentar