Ragam Nusantara di Dunia Kampus
Di waktu yang masih pagi sekali ini,
saya dan mahasiswa baru lainnya sedang bersiap-siap menuju stadion di kampus
yang tak begitu jauh dari kosku, mungkin sekitar lima ratus meter. Maklum, tidak
punya kendaraan pribadi, sehingga kedepannya kalau berangkat ke kampus atau
kemana-mana harus jalan kaki. Tapi tak apa, sekalian olahraga biar sehat.
Pakaian
atasan putih, bawahan hitam kain, sepatu pantofel hitam, kaos kaki putih, dasi
hitam, tas, topi, dan tak lupa jas almamater kampus kebanggaan sudah melekat
dengan rapi di badan. Jauh-jauh hari persiapan ini kulakukan agar tidak terjadi
kelalaian, karena waktu SMA dulu sering sekali kelupaan. Salah satunya saat
diwajibkan membawa atribut ketika upacara sehingga selalu berada di barisan
terpisah dari teman-teman yang lain dan itu memalukan sekali. Maka dari itu aku
gak mau ngulangin era nakal di SMA. Waktu itu juga sering dibilangi oleh
kakakku kalo mahasiswa itu harus bersikap lebih dewasa dan tidak disamakan
dengan ketika masih SMA. Yah, dasar-dasar di dunia perkuliahan sudah kudapat
dari kakakku yang juga alumni kampus ini, sehingga lumayan sering berdiskusi
tentang perkuliahan.
Alasanku kuliah di kampus ini juga
rekomendasi dari kakakku. Aku sangat bersyukur bisa diterima di sini dan masuk
ke fakultas idamanku, yaitu fakultas pertanian. Alasan mengapa aku ingin masuk
ke fakultas pertanian adalah karena kelak ingin membuat pertanian di Indonesia
semakin maju. Dulu juga pernah mendengar istilah “petani berdasi” yang
membuatku semakin termotivasi untuk masuk ke pertanian. Teman-temanku yang satu
SMA cukup banyak yang diterima di kampus ini. Sayangnya, yang masuk di
pertanian tidak ada. Tapi tak apa, nantinya juga pasti akan menemukan banyak
teman baru di sana.
Ketika sedang bergegas menuju
stadion untuk melaksanakan upacara penerimaan mahasiswa baru, sejauh mata
memandang yang nampak hanya kerumunan mahasiswa yang berbondong-bondong untuk berangkat
menghadiri upacara penerimaan mahasiswa baru. Sesampainya di pintu stadion,
nampak ratusan, tidak, ribuan mahasiswa baru mulai memenuhi lapangan stadion.
Di depan barisan terdapat plat yang menjadi pemisah antarbarisan. Ketika
menemukan papan bertuliskan “FAKULTAS PERTANIAN” langsung saja saya masuk ke
dalam barisan tersebut. Sambil mengamati keadaan sekitar, ternyata banyak juga mahasiswa
yang berasal dari daerah lain. Beberapa dari mereka berbicara dengan bahasa
yang tidak kumengerti. Dan yang paling mencolok adalah di dekatku ada mahasiswa
dari Indonesia bagian timur. Baru kali ini aku melihat orang-orang seperti ini
dengan mata kepalaku sendiri. Selama ini aku hanya tahu lewat media dan cerita
saja. Lambat laun aku semakin menyadari kalau Indonesia memang kaya akan
keanekaragamannya.
Upacara berlangsung tertib dan
khidmat, kemudian ditutup oleh rektor dengan melakukan prosesi pelepasan balon
berwarna merah dan putih diiringi suara sirine yang berbunyi amat keras.
Setelah upacara selesai, para mahasiswa tak begitu saja meninggalkan barisan.
Banyak dari mereka saling berkenalan satu sama lain, baik laki-laki dan
perempuan berbaur menjadi satu. Tiba-tiba seseorang menghampiriku dan
mengajakku berkenalan.
“Hai,
kenapa diem mulu? Kenalin nih, gue Hikmat. Dari jurusan agroteknologi. Bandung
punya, hehe.”
“Oh,
iya. Kenalin aku Rahmad. Dari jurusan agroteknologi juga, asal Tuban.”
“Wah kita
satu jurusan rupanya. Salam kenal Rahmad.”
“Salam
kenal Hikmat.”
Dari caranya berbicara sepertinya
dia memang asli Jawa Barat, karena logatnya yang terdengar cukup familiar
karena sering mendengarnya di film atau televisi. Ia berbicara panjang lebar tentang
dirinya dan budaya daerahnya tanpa menghiraukan kalau kami baru bertemu,
seolah-olah kami berdua adalah teman akrab. Dia nampak begitu easy-going dengan teman-teman yang lain.
Lama kelamaan aku dan Hikmat berkenalan dengan beberapa teman yang satu fakultas.
Karena cahaya matahari yang terasa semakin terik, mahasiswa lain mulai
meninggalkan stadion. Hikmat dan teman-teman lain mengajakku pulang bareng.
Kami pulang
bertujuh. Ada aku, Hikmat, Annisa, Bertha, Carolina, Franata, dan Kogoya. Nama
mereka (selain Hikmat dan Annisa) masih terdengar asing bagiku karena
sebelumnya belum pernah tahu secara langsung. Mereka semua satu fakultas
denganku. Hikmat dan Bertha satu jurusan denganku (agroteknologi), sedangkan Carolina
dari jurusan peternakan, Franata dari jurusan ilmu tanah, dan Annisa bersama
Kogoya dari jurusan agribisnis.
Kebetulan
juga kami bertujuh juga berasal dari daerah dan suku yang berbeda-beda pula.
Aku dari Jawa, Hikmat dari Sunda, Annisa dari Nanggroe Aceh Darussalam, Bertha
dari Medan, Carolina dari luar negeri (Denmark), Franata dari Kalimantan
Tengah, dan Kogoya dari Papua. Untung saja ada bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan, sehingga kami semua bisa berkomunikasi dengan baik, meski dengan
logat dan aksen yang tetap berbeda. Kalau tidak, mungkin kami akan kesulitan
untuk komunikasi. Carolina berasal dari Denmark, merupakan keturunan
Indonesia-Denmark, dan sudah lebih dari lima tahun tinggal bersama kedua orang
tuanya di Indonesia, sehingga telah memperoleh hak kewarganegaraannya pula. Dan
dari caranya berbicara sudah cukup fasih berbahasa Indonesia dengan baik.
Berkat
kecakapan Hikmat kami berenam menjadi satu. Kalau ada waktu luang pasti sering
kumpul bareng, entah itu ngopi, jalan-jalan, makan-makan, jogging, atau
aktivitas lain yang berguna untuk menjalin silaturahmi. Tak sampai satu minggu,
hubungan kami seolah seperti saudara. Bagaimana tidak, apabila ada masalah
pasti secepat mungkin saling membantu tanpa pandang bulu, tak pernah saling
meninggalkan, dan merasakan suka dan duka bersama-sama. Mungkin saja ini
gara-gara sifat khas orang Indonesia yang ramah dan suka menolong satu sama
lain dan sikap gotong royong yang kental.
Suatu
ketika terdengar kabar dari kelas kalau Carolina sedang tertimpa musibah. Ia
tertabrak mobil yang menerobos lampu merah hingga motornya rusak parah.
Kemungkinan si sopir sedang mengantuk. Untuk kondisi terkini masih belum tahu
pasti. Setidaknya itu yang kuketahui dari media sosial. Dengan inisiatifku dan
Hikmat, kami berdua hendak menjenguk Carolina di rumah sakit yang jaraknya
cukup jauh dari kampus, sehingga membuat kami memesan taksi online terlebih
dahulu. Namun sebelum itu Hikmat membuat pesan siaran kepada teman-teman yang
lain apabila hendak menjenguk Carolina, ia berada di rumah sakit dekat
alun-alun kota. Kami hanya berangkat berdua karena yang lain masih memiliki
kesibukan masing-masing, sehingga tidak bisa bersama-sama menjenguknya. Namun
kebetulan kami bertemu dengan Livia dan Maya, teman satu UKM dengan Carolina,
yang hendak menjenguk pula.
“Wah ada
kalian berdua, kebetulan nih. Mau jenguk Lina juga ya?” Ujar Hikmat
“Iya
nih, yuk masuk bareng.” Kata Livia
“Bentar-bentar,
kalian bawa buah-buahan dan susu, sedangkan kami berdua gak bawa apa-apa. Gak
enak jenguk sama tangan kosong. Bisa tunggu bentar gak? Aku sama Rahmad mau
belanja dulu bentar di minimarket sana tuh.”
“Boleh-boleh.
Jangan lama-lama ya.”
“Oke.”
Aku dan
Hikmat belanja ke minimarket terdekat. Beberapa waktu kemudian kami berkumpul
kembali dan menuju kamar Carolina. Saat Maya mengetuk pintu dan membukanya
perlahan, nampak Carolina yang terkulai lemas, masih tak sadarkan diri dengan kepala
dan tangan serta kaki diperban, dan disampingnya ada ibunya. Satu per satu dari
kami berempat mencium tangan ibu Carolina. Kami duduk di lantai beralaskan
tikar dan beliau menceritakan kronologinya dengan detail. Setelah lama
berbincang-bincang dengan beliau, aku dan teman-teman yang lain pamit pulang.
Dan ketika akan keluar dari kamar, terdengar ketukan pintu dari luar. Livia
membukakan dan rupanya teman-teman sekelas Carolina berdatangan untuk
menjenguk. Karena keterbatasan ruangan dan juga yang menjenguk cukup banyak,
sehingga harus bergantian masuk kamar dan terpaksa menunggu di luar.
Sesampainya di halaman rumah sakit, aku dan Hikmat berpisah dengan Livia dan
Maya.
“Sampai
jumpa besok ya. Kita doakan saja atas kesembuhan Lina supaya bisa segera
berkumpul lagi.”
“Aamiin.”
Hari
demi hari berlalu. Hampir setiap hari aku dan teman-teman yang lain menjenguk
Carolina yang masih tak sadarkan diri. Setiap hari kami semua mengirimkan dan
memajang origami burung atau biasa disebut senbazuru
di kelas, yang biasanya digunakan oleh masyarakat Jepang untuk mendoakan orang
sakit dengan harapan agar penyakitnya segera sembuh.
Sekitar
satu minggu kemudian ibu Carolina mengirim pesan padaku, yang waktu itu pernah
meminta beliau untuk memberi kabar melalui pesan singkat apabila Carolina sudah
siuman. Dan benar, beliau memberitahuku kalau Carolina sudah siuman dan sudah
bisa dibawa pulang. Tanpa membuang-buang waktu, kusiarkan kabar ini ke tiap
grup yang ada di fakultas.
Selesai
kuliah saya dan teman-teman lain pergi ke rumah Carolina untuk menjenguknya. Di
rumahnya masih banyak orang yang bertamu, sehingga kami menunggu di teras
terlebih dahulu. Setidaknya mendengar kabar kalau Carolina sudah baikan membuat
kami semua lega.
Hari selanjutnya, Carolina sudah
bisa masuk kuliah dan disambut dengan hangat oleh kawan-kawan lainnya. Banyak
pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan kepadanya yang tak lepas dari musibah
yang dialaminya beberapa waktu lalu. Namun ia memilih menyendiri terlebih
dahulu. Mungkin karena trauma yang dialami membuatnya tidak ingin mengingatnya.
Selang beberapa lama, kami bertujuh
yaitu aku, Hikmat, Annisa, Bertha, Carolina, Franata, dan Kogoya berencana
makan siang di salah satu pujasera terbesar dan terkenal di kalangan mahasiswa
maupun umum yang menyediakan masakan dari Sabang sampai Merauke, semuanya
lengkap. Baru pertama kali ini kami ke sini, meskipun sudah beberapa waktu yang
lalu berlangsung soft opening.
Meskipun
menunya lumayan mahal dibandingkan di daerah setempat, setidaknya ini dapat
memuaskan kerinduan akan makanan khas daerah. Toh juga jarang-jarang mahasiswa
makan makanan mahal. Dan tentunya masing-masing dari kami memesan makanan dan
minuman favorit khas daerah. Saya memesan “kare rajungan” yang merupakan
makanan khas Tuban. Hikmat memesan karedok, yang merupakan makanan khas Sunda
yang terbuat dari sayur-sayuran seperti mentimun, kol, kemangi, taoge, terong,
dan kacang panjang. Annisa memesan “mie aceh” yang mienya memiliki bentuk tebal
dan kuning, ditemani taburan daging kambing. Bertha memesan menu “natinombur”,
yang terbuat dari ikan bakar dan disajikan dengan kuah kental kaya akan bumbu.
Carolina memesan “tempoyak”, makanan khas Lampung yang dibuat dengan bahan
dasar durian yang difermentasi. Kebetulan Carolina beberapa waktu lalu pernah
tinggal di Lampung sehingga tahu akan makanan tersebut. Kemudian Franata
memesan “karuang”, makanan yang terbuat dari daun singkong yang ditumbuk.
Sedangkan Kogoya memesan martabak sagu, martabak yang dibuat menggunakan bahan
dasar makanan pokok daerah sana, yaitu sagu. Untuk minumannya sendiri, kami bertujuh
hanya memesan air putih saja.
Cukup
lama waktu yang dihabiskan untuk menunggu pesanan karena antrean yang amat
panjang dan ramai. Untung saja masih kebagian meja untuk makan bareng. Satu per
satu pesanan berdatangan dan setelah semuanya terkumpul, kami bertujuh berdoa
menurut agama dan keyakinan masing-masing, dan dipimpin oleh Hikmat. Berdoa
diakhiri.
“Sebentar,
jangan dimakan dulu. Sebelum waktunya santap makanan, alangkah baiknya saya
jelaskan aturan makannya dulu.” Kataku.
“Duh
udah laper nih, pake ada aturan segala.” Ujar Bertha.
“Tunggu
tunggu, sabar. Gini, biar semua bisa ngerasain makanan khas daerah kalian,
gimana kalo tiap satu suapan, ntar diputer ke temen sebelahnya searah jarum jam
sampai habis, tapi suapannya gak boleh berlebihan?”
“Wah ide
bagus tuh.”
“Oke
siap.”
“Boleh
boleh”
Akhirnya
semua setuju dengan usulanku barusan. Kemudian kami bertujuh menikmati makanan
tersebut. Selepas makan-makan, kami saling bercengkerama, bertukar pikiran, dan
melakukan aktivitas lain yang berguna untuk mempererat tali silaturahmi. Tak
terasa satu jam berlalu, sampai salah seorang pelayan menegur kami karena
terlalu lama di meja makan dan harus bergantian supaya pelanggan lain dapat
tempat untuk makan pula. Kami semua berpisah di jalan dan siap bertemu kembali
esok hari.
Saya
amat bersyukur dipertemukan dengan mereka. Dengan ini akhirnya saya benar-benar
mengerti apa itu arti dari perbedaan, yang sebelumnya banyak kutemukan di buku pelajaran
maupun berbagai media lain. Meskipun kami berasal dari daerah, suku, agama, dan
memiliki budaya yang berbeda-beda, namun tidak menjadikan hal-hal tersebut sebagai
alasan untuk tidak menjadi satu kesatuan utuh. Seperti semboyan negara kita,
Bhinneka Tunggal Ika, yang bermakna berbeda-beda tetapi tetap satu. Kebanggaan
menjadi bagian dari Indonesia akan selalu mengalir dalam nadi. Dan pengamalan
akan Bhinneka Tunggal Ika akan tetap berlangsung hingga akhir hayat nanti.
Sumber gambar: https://million-wallpapers.com
0 Komentar