Pagi itu, tepatnya pada hari Jumat, 17 Agustus 2018, waktu yang amat bersejarah bagi saya. Mengapa? Karena saat itu juga adalah pertamakalinya saya menjejakkan kaki di puncak gunung yang merupakan salah satu impian kecilku sejak dulu dan baru saat itu pula terwujud. Alasanku memilih gunung Merbabu adalah karena terinspirasi dari salah satu temanku yang pernah ke sana sebelumnya. Dan kebetulan juga saat itu adalah hari kemerdekaan NKRI yang ke-73.

Berawal dari media sosial bernama Instagram, saya mencari info seputar pendakian dan mataku tertuju pada pamflet yang menginformasikan bahwa akan dilakukan pendakian di gunung Merbabu mulai tanggal 16-17 Agustus 2018. Segeralah saya menghubungi kontak yang tertera di pamflet tersebut dan sekalian bertanya-tanya tentang pendakian, karena waktu itu saya benar-benar tidak tahu apa-apa dan awalnya bahkan ragu apakah saya bisa melakukannya atau tidak. Dengan ramahnya dan penuh keyakinan beliau bilang bahwa saya bisa. Saya bisa mendaki gunung dan mencapai puncak. Beliau juga memberitahu mengapa alasan biaya pendaftarannya amat murah karena kegiatan itu murni untuk menjalin silaturahmi, meskipun berupa open trip, tapi tidak ada yang namanya mencari keuntungan, melainkan mencari teman.

Dengan persiapan dan bekal seadanya, maka berangkatlah saya menuju Alun-alun Kebumen, yang merupakan lokasi meeting point kegiatan pendakian. Jauh-jauh hari saya memesan tiket kereta melalui ponsel agar tidak kehabisan. Sayangnya, hanya dapat tiket untuk berangkat saja, karena untuk tiket pulangnya sudah terjual habis. Mungkin bertepatan dengan promo hari kemerdekaan sehingga ludes dan terpaksa mencari alternatif transportasi lain saat pulang nanti. Alasan mengapa kereta api sebagai alat transportasi pilihan karena untuk jadwalnya sudah tertera sehingga dapat diketahui waktu keberangkatan dan tiba. Juga karena biayanya lebih murah dan cepat. Karena tiket yang dibeli adalah kelas ekonomi dan tempat duduknya saling berhadapan, sehingga banyak bertemu orang-orang yang silih berganti tempat duduk. Mulai dari orang yang naik kereta sendiri sampai satu keluarga hingga berdesak-desakan. Butuh waktu 12 jam lebih untuk sampai di stasiun Kebumen. Belum lagi mengalami keterlambatan karena berkali-kali adanya persilangan dan pergantian gerbong.

Sesampainya di sana saya dijemput oleh orang yang waktu itu dihubungi dan berkumpul di rumah panitia. Rupanya ada tiga orang lagi yang berasal dari luar kota selain saya. Setelah istirahat sejenak, saya diantar ke rumah panitia lain di daerah Wonosobo dan menginap di sana supaya tidak terlalu jauh waktu berangkat nanti dan juga untuk bantu-bantu bawa barang-barang untuk mendaki besok. Jalan terjal, berliku, dan gelap gulita dilalui dengan penuh tantangan. Si panitia menjelaskan mengapa melalui jalan tersebut karena lebih dekat dan cepat daripada lewat Kebumen kota karena apabila melalui jalan kota, harus memutar sehingga lebih jauh. Tiba di rumah panitia, saya disambut dengan hangat oleh sang penghuni rumah. Sambil mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa, saya meminta izin untuk menginap dan menitipkan barang-barang penting.

Jujur saja, saya meskipun orang jawa, tapi ketika berkomunikasi dengan orang-orang sana tidak begitu paham karena logat dan aksen jawanya yang “inyong-kowe” dan terdengar aneh di telinga, sehingga tentu perlu pembiasaan karena komunikasi itu amat penting. Sebelumnya juga pernah seperti ini ketika berada di tempat lain yang berbeda dengan lingkungan biasanya. Yah, sekali-kali memang harus merasakan demikian, agar dapat memahami dengan benar bahwa Indonesia itu penuh dengan keberagaman.

Keesokan harinya, saya dan panitia yang rumahnya saya inapi berangkat. Suasana dingin amat terasa, meskipun sedang di dalam rumah. Di persimpangan jalan berhenti sejenak untuk mencari sinyal agar bisa menghubungi panitia lainnya yang hendak berangkat bareng. Maklum, lokasinya yang amat pelosok, sampai-sampai sinyal enggan masuk dan harus ke titik tertentu untuk memperolehnya. Beberapa menit kemudian, tibalah orang yang ditunggu beserta teman ceweknya. Lantas, kami berempat langsung ngacir menuju basecamp. Namun sebelum itu, harus mengambil perlengkapan di tempat persewaan alat camping yang jaraknya cukup jauh dari tempat berkumpul tadi.

Sebelum sampai di basecamp, kami berempat menunggu teman-teman lain yang sedang dalam perjalanan pula. Total ada empat belas orang yang tergabung dalam kegiatan kali ini. Kami berempat menunggu di pinggir jalan tanjakan sebelum menuju basecamp yang mana jalur pendakian pilihan saat ini adalah lewat Selo karena katanya jalur ini yang paling mudah daripada jalur lain sehingga pemula seperti saya tidak merasa terlalu kesulitan. Dengan pemandangan gunung Merapi di sisi selatan dan deretan gunung di sisi lainnya, baru kali ini saya melihat gunung dari dekat secara langsung.

Setelah beberapa lama menanti kehadiran teman-teman, mereka akhirnya berdatangan juga. Matahari mulai terik, dan kami semua bergegas menuju basecamp. Ketika tiba di basecamp, kami istirahat sejenak sebelum mendaki dan melakukan persiapan serta diberikan arahan saat hendak mendaki. Segala persiapan sudah selesai, mulai dari perlengkapan, bahan makanan, tiket masuk, dan lain sebagainya. Sebelum berangkat, sudah semestinya berdoa terlebih dahulu agar diberi keselamatan dan dilindungi dari marabahaya. Langkah pertama dimulai, dan ketika melewati tanjakan pertama yang curam menuju pintu rimba, rasanya sudah ngos-ngosan. Boleh jadi gara-gara lama tidak olahraga, padahal sebelumnya sudah melakukan latihan fisik (meskipun cuma sedikit sih).

Kami waktu itu mendaki santai saja, tidak ngebut apalagi tektok karena entah mengapa rasanya kok cepet banget capek. Sebelum mencapai pos 1 pun sudah berkali-kali istirahat. Dan rasanya melewati pos-pos rasanya lama banget. Ternyata meskipun disebut jalur paling mudah, tetap saja tidak mudah-mudah amat. Karena adakalanya harus melalui tanjakan yang dihiasi tanah dengan tekstur yang halus dan berdebu, sehingga beberapa kali saya dan teman-teman yang lain tergelincir. Saking banyaknya debu, sampai-sampai pakaian, kuku, dan upil serta belek saya hitam dan kotor banget. Untung saja saat itu tidak hujan, kalau iya mungkin sudah jadi jalur yang begitu menantang.

Berbagai tanjakan terlewati dan kami semua istirahat cukup lama di pos 3. Langit kala itu sudah menampakkan senjanya dan udara terasa mulai semakin dingin. Di pos 3 kami berfoto ria dengan background gunung Merapi yang terlihat begitu gagah. Teman-teman yang lain sedang menyiapkan minuman hangat sebagai penghangat badan. Di sini juga sudah banyak berdiri tenda-tenda. Salah satu panitia bilang kalau kami akan mendirikan tenda di sabana 1. Perjalanan menuju sabana 1 dilakukan di malam hari, dan dengan pencahayaan seadanya, kami melalui tanjakan yang penuh dengan tanah halus berdebu. Berkali-kali tergelincir karena pijakan yang kurang kuat, untungnya teman-teman yang lain dengan sigap membantu.

Setibanya di sabana 1, saya dan teman-teman cowok mendirikan tenda, dan teman-teman cewek memasak makanan dan minuman. Selepas makan dan minum, sebagian dari kami bercengkerama dan sisanya memilih tidur karena kelelahan. Di tengah malam, terdengar suara berisik dan ketika saya cek rupanya patok tendanya lepas sehingga cover tendanya “berkibar” diterpa angin. Teman setenda tidak ada yang mau bangun, sehingga terpaksa saya sendiri yang membetulkannya sambil menahan rasa dingin.

Jam menunjukkan pukul 2, salah satu panitia berusaha membangunkan yang lain untuk summit ke puncak. Ada beberapa yang tidak ikut karena sudah tidak kuat dan ingin di tenda saja sambil menjaga barang-barang. Setelah semua yang ikut ke puncak berkumpul, kami berangkat menuju puncak Kentengsongo dengan melalui jalur yang saat itu tidak banyak dilalui orang lain. Sesekali istirahat dan menikmati pemandangan gunung Merapi dalam kegelapan malam dan gemerlapnya cahaya lampu di kabupaten Boyolali. Cahaya kemerahan matahari di ufuk timur mulai nampak, dan kami bergegas agar tidak ketinggalan sunrise di puncak.

Dan pada akhirnya, saya berada di puncak Kentengsongo. Ternyata sudah banyak orang berkumpul untuk mengabadikan momen sunrise dengan dihiasi bayangan gunung Lawu jauh di timur. Dengan diiringi bendera yang berkibar, semua orang yang berada di puncak serentak menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan lantang. Sungguh terharu rasanya, karena momen pertama ini tentunya kelak akan membekas dan tak terlupakan. Matahari mulai naik, saya dan para pendaki lainnya berfoto ria dengan menikmati pemandangan indah dari puncak gunung Merbabu. Terdapat deretan gunung yang nampak, mulai dari Merapi, Sumbing, Sindoro, Lawu, dan lainnya. Di momen ini, banyak teman baru tentunya, salah satunya mbak-mbak cantik yang berasal dari Banjarnegara. Saat ditanya, ia sudah berkali-kali mendaki gunung, seperti gunung Semeru, Slamet, Lawu, dan lain-lain.

Selepas menikmati pemandangan dari puncak Kentengsongo, kami beralih menuju puncak Triangulasi. Sebagian dari teman-teman yang satu perjalanan sudah turun karena tidak tahan dingin. Terik matahari sudah semakin panas, dan sudah waktunya untuk bersiap turun gunung karena salah satu panitia bilang kalau bisa jam dua sudah sampai di basecamp. Waktu turun dari puncak, langkahku terasa cepat sekali, tidak seperti saat mendaki, sampai-sampai teman-teman yang lain tertinggal jauh. Di turunan dengan tanah halus, saya memilih “merosot” saja supaya lebih cepat sampai. Dan rupanya pendaki lain juga demikian, seolah-olah sangat menikmatinya.

Sampai di tenda, kami makan siang terlebih dahulu. Dan setelah semuanya berkumpul, kami mulai berkemas dan mengecek barang-barang serta sampah agar tidak tertinggal. Karena banyak teman-teman lain yang ketinggalan, maka sebagian ada yang saling menunggu, dan sebagian lagi menunggu di tempat berbeda. Semuanya sudah berkumpul di pintu rimba, lalu lanjut ke basecamp. Salah seorang teman cewek merasa kesakitan di bagian kakinya, dan memintaku untuk menuntunnya. Saat hampir tiba di basecamp, ia minta berhenti sebentar karena ingin makan pentol, dan saya dibelikan juga. Alhamdulillah, rejeki anak sholeh :3

Waktu semakin sore, sudah waktunya untuk pulang. Saya dan salah satu teman dari Kebumen menginap di rumah teman waktu menginap kemarin, dua teman cowok dari Jakarta diantar ke terminal, dan satu orang teman cewek yang saya bantu tadi dijemput temennya dari Boyolali. Kami berpisah, dan kami berlima yang tersisa mengembalikan perlengkapan camping ke tempat persewaan. Sebelum sampai di rumah masing-masing, saya dan empat teman yang lain makan di warung. Dan keesokan harinya saya diantar ke terminal untuk pulang ke rumah.

Dari pengalaman mendaki pertama saya kali ini, saya memahami bahwa alam perlu dilestarikan. Karena alam ada untuk kita dan kita harus merawatnya, bukan justru merusaknya. Dengan demikian, saya semakin ingin menjadikan ini sebagai hobi baruku, karena banyak hal positif yang saya peroleh dari sini. Seperti bagaimana mencintai alam, menjalin persahabatan terhadap orang yang baru dikenal, dan banyak lagi. Banyak hal-hal unik yang saya temui di pendakian kali ini. Salah satunya adalah “kentut” bisa mendekatkan antar sesama. Kok bisa? Entahlah. Kentut bisa menjadi hal yang lucu, bahkan dijadikan cara “berkomunikasi” dengan saling membalas kentut. Sampai-sampai saya dan teman dari Jakarta heran dengan tingkah laku teman-teman yang lain ini. Anehnya, kami semua bisa tertawa. Semoga saja ini tidak berakhir sampai di sini dan tetap terjalin selamanya. Terima kasih semuanya.

0 Komentar