Pagi hari kala itu, terik matahari terasa membakar kulit. Sekalipun waktu baru menunjukkan pukul tujuh pagi. Upacara MOS segera dimulai. Dan sudah menjadi adat istiadat kalau para siswa baru harus didandani sedemikian rupa, sesuai dengan apa yang diinstruksikan oleh kakak kelas saat hendak masuk sekolah. Topi kerucut yang terbuat dari karton dan diberi balon diujungnya, tas dari kresek merah, nama dari kertas karton warna, dan atribut-atribut lainnya wajib dikenakan saat MOS berlangsung, atau hukuman akan kami terima.
Para siswa berkumpul di halaman sekolah. Barisan demi barisan sudah teratur sesuai dengan pembagian kelas masing-masing. Saat hendak dimulai upacaranya, murid-murid yang hampir terlambat digiring oleh “kakak-kakak senior yang amat berkuasa”. Di waktu itu, aku belum punya teman sama sekali yang berasal dari sekolah yang sama di masa SMP dulu. Maklum, aku adalah satu-satunya siswa yang melanjutkan di sekolah ini yang berasal dari SMP-ku dulu.
Di sini adalah SMAK. Lantas, mengapa aku sekolah di sini? Tidak sekolah di SMA lain saja yang tidak ada embel-embel berbau agamis? Salah satu alasannya adalah karena dekat dengan rumah. Agar tidak perlu kos yang justru akan menambah biaya pengeluaran lagi. Selain itu agar aku bisa merasakan bagaimana menjadi minoritas di sekumpulan orang yang di luar sana juga dianggap minoritas. Dan orang tuaku juga sudah menyetujuinya.
Sudah satu jam lebih semenjak upacara dimulai. Kepala sekolah sedari tadi sudah berpidato di depan barisan hampir satu jam dan seperti tidak kehabisan kata-kata untuk dilontarkan kepada siswa. Ada siswa yang pingsan, duduk-duduk dan saling bercengkerama dengan siswa sebelahnya (dan setelah itu tahu sendiri apa yang terjadi selanjutnya), dan lain-lain. Setelah menunggu sekian lama, akhirnya kepala sekolah mengakhiri pidato panjang kali lebar kali tingginya. Namun, “kakak-kakak senior yang amat berkuasa” meminta para siswa untuk tetap berada di barisan setelah upacara selesai. Katanya, akan ada intruksi selanjutnya.
Saat di kelas, aku masuk paling belakangan dan otomatis dapat bangku paling belakang dan jelek karena sudah ditukar-tukar oleh siswa yang masuknya duluan. Maklumlah, demi kenyamanan dalam kegiatan belajar mengajar. Tempat dudukku paling belakang dan pojok sendiri. Dengan bangku yang tidak ada pijakan dan kolongnya, rasanya amat tersiksa. Dan rupanya ada yang lebih akhir daripada aku. Tanpa basa-basi, ia duduk di sebelahku yang kebetulan juga kosong.
“Hai”.Sapanya dengan wajah yang tersenyum namun nampak menyeramkan bagiku. Rambutnya yang agak panjang dan acak-acakan sukses membuatku merinding. Akupun tersenyum kecut dan kebingungan. Kelas yang riuh ramai saat itu membuatku bingung mau apa, pun aku belum punya teman sama sekali dan tiba-tiba saja orang di sebelahku menyapaku dengan senyuman yang aneh.
“Kenalin, namaku Ricky, kamu?”
“Oh, namaku, eh, eng, Joseph.”
“Biasa aja kali, gak usah grogi. Gua gak bakal makan lu kok. Soalnya gua bukan orang yang suka makan temen sendiri, haha. Garing ya?”
“Aduh, gimana ini?” gumamku dalam hati. Sulit bersosialisasi sedari kecil membuatku hanya punya sedikit teman. Pembicaraan seperti ini saja bisa membuat jantungku berdegup kencang.
“Oke Joseph, nanti sepulang sekolah main ke rumah gua yuk. Sekalian mengakrabkan diri. Dan gua liat muka lu tegang amat, haha. Santai aja bro.”
“I-Iya R-Rick.”
            Tak lama kemudian, “kakak-kakak senior yang amat berkuasa” masuk ke kelas. Dua cowok, dan dua cewek. Mereka bertugas untuk mengisi materi di kelas. Sebelum itu salah satu dari mereka, Veronica dia mengenalkan namanya, dan berasal dari kelas XII, mengabsen satu persatu siswa yang ada di kelas.
“Livia Banjarnahor”
“Hadir”
“Ricky Yulian”
“Oy”
“Yang sopan kalo ngomong”
“I-Iya kak”
Sempat berhenti sejenak, absenpun dilanjutkan kembali.
“Samuel Proboyunanto” “Hadir”, “Bryan Adam” “Hadir”, “Benedict Prabowo” “Hadir”, “Ahmad Yusuf Ferdianto” “Hadir”.
            Ricky menoleh kearahku dengan wajah penasaran. Setelah diabsen semua, Kak Veronica menyampaikan materi tentang MOS dan melakukan kegiatan lainnya. Selang beberapa waktu, belpun berbunyi nyaring, membuat para siswa bersorak gembira dan “kakak-kakak senior yang amat berkuasa” mendengus. Spontan Ricky menarik lenganku dan mengajakku ke kantin. Katanya sih biar kebagian tempat duduk, karena ketika jam istirahat, kantinnya selalu penuh.
            Suasana ini belum pernah aku rasakan sebelumnya. Seperti inikah SMA? Pikirku. Ricky memesan mie ayam dua mangkuk dan es teh dua. Ia mempersilakanku untuk duduk di meja yang sudah ia “rebut” dari seorang siswa yang mencoba mengambilalihnya. Selang beberapa menit kemudian, mamang pelayan kantin menyodorkan dua mangkuk mie ayam dan juga dua gelas es teh ke meja kami. Setelah itu kami makan berdua.
“Eh Yusuf, kenapa kamu menyamarkan namamu?” tanya Ricky.
“Emm, kukira dengan begitu akan lebih familiar di telinga, mulut, dan benak kalian.” Jawabku.
“Denger ya Yusuf, lu gak sendirian di sini. Lu bukan satu-satunya yang berbeda. Banyak kok mereka yang kayak lu, jadi tak perlu khawatir masalah itu. Bukankah perbedaan memberikan suatu “bumbu” yang mampu menjadikan kebersamaan lebih berwarna? Maka dari itu, gak usahlah ragu-ragu, apalagi gak percaya diri kayak tadi.”
“O-Ok Rick, makasih atas masukannya.”
“Udah ah, cepetan makan, perut udah konser pula. Nanti takut adem mienya.”
            Jam dinding di kantin menunjukkan pukul sepuluh. Bel berbunyi nyaring tanda jam istirahat telah usai. Para siswa berbondong-bondong kembali ke kelas masing-masing, khawatir nanti diciduk oleh “kakak-kakak senior yang amat berkuasa” maupun guru yang sedang melintas.
            Akhirnya waktu pulang sekolah tiba. Dan lagi, aku mendapat satu kawan, ya, KAWAN. Ricky rupanya orang yang supel. Tak pernah ia berhenti mengajakku berbicara. Bahkan saat pelajaran berlangsung sekalipun, yang berujung kami disetrap dan disuruh maju ke depan kelas menghadap ke teman kelas sendiri dan dibuat bahan tertawaan. Namun tak apa, setidaknya aku berdiri tidak sendirian. Sepertinya Ricky amat ingin bergaul denganku. Mungkin saja ia tahu aku yang sulit bersosialisasi dan rasanya aku “dipaksa” untuk bersosialisasi dengannya maupun yang lain.
            Tiga bulan berlalu semenjak perkenalanku dengan Ricky, membuatku merasa kalau dia adalah kawan baikku hingga saat ini. Tak ada lagi yang namanya grogi atau semacamnya kalau bersamanya. Beberapa hari sekali aku diajak main ke rumahnya. Dijamu, diajak main ke kamarnya, main game sepuasnya, dan lain sebagainya. Ibu dan ayahnya juga baik hati dan murah senyum. Tak jarang aku melihat mereka beribadah, dan aku menunggu di tempat lain. Ketika awal-awal datang ke rumahnya, rasanya begitu grogi, terutama ketika melihat pernak-pernik dan pajangan di rumahnya yang membuatku merasa aneh dan asing. Tetapi lama-kelamaan ku merasa biasa saja, terutama ketika mengingat ucapan Ricky tentang perbedaan.
            Tak terasa, sudah hampir setahun aku mengenal Ricky. Semakin lama diriku merasa kalau dia adalah kawan baikku. Meski dengan background yang berbeda, tak menampik kalau kebersamaan dengannya memudar. Dan saat hendak menyambut bulan suci, ketika perjalanan pulang ke rumah masing-masing seusai dari kerja kelompok, Ricky mengajakku ke masjid yang kebetulan saat itu berada di seberang jalan dan juga sedang adzan.
“Yusuf, aku pengen ngeliat kamu sholat berjamaah.” Kata Ricky dengan antusias. Entah apa maksudnya,namun aku sontak menuruti perkataannya dan sesegera mungkin antre mengambil wudhu. Dari luar masjid,Ricky duduk-duduk di teras masjid dan mengamati gerakan-gerakan sholatku dengan seksama. Seusai sholat sekalipun ia tak melepaskan pandangannya dariku, dan itu membuatku risih.
“Apaan sih, diliatin mulu daritadi,malu tau.”
“Gapapa sih, cuma pengen tau aja secara detail sholat itu kayak gimana. Soalnya sebelum-sebelumnya belum pernah punya temen kayak lu, hehe.”
“Hmm.”
            Selepas sholat, kami melanjutkan perjalanan pulang ke rumah masing-masing. Di tengah perjalanan, aku memperhatikan salah satu gereja yang ada di sana.
“Megah bukan?”
“Ng, iya.”
“Lu penasaran gak sih apa isi di dalamnya?”
“Em, iya sih.”
“Haha. Kamu tau gak kenapa atapnya berbentuk segitiga?”
“Enggak tuh.”
“Tujuannya buat gambarin kerinduan untuk kembali kepada Tuhan dan sedekat mungkin dengan Tuhan.”
(Berpikir keras)
“Haha bingung ya. Maklum deh, hehe.”
            Di persimpangan jalan, kami berdua berpisah arah. Hari demi hari berlalu. Bulan suci telah tiba. Aku dan Ricky tiap hari ngabuburit sembari menunggu adzan maghrib dan tak lupa beli jajanan di pasar. Ternyata Ricky juga suka beli kurma dan cendol serta bakwan. Kagetnya, Mamang pelayan kantin ikut jualan di pasar, dengan menjual es buah bersama Bu kantin.
“Yusuf, lu tau gak? Gua juga puasa lho. Yah, meskipun agak beda denganmu.”
“Oh gitu ya.”
“Eh kamu beli sebanyak itu gak kebanyakan?”
“Nggak kok. Nanti sebagian aku kasihkan buat takjil di masjid.”
“Oh iya ya.”
            Sang mentari yang berada di ufuk barat semakin tenggelam. Langit mulai menampakkan warna merah meronanya. Suasananya membuat sore itu menjadi lebih indah dan nampak menakjubkan. Adzan mulai berkumandang di berbagai penjuru dan waktu berbuka telah tiba. Kami berjalan bersama-sama untuk pulang. Dan saat di persimpangan jalan, aku berpisah jalan dengannya.
            Setelah satu bulan puasa, tiba saatnya hari yang ditunggu-tunggu, “Hari Raya Idul Fitri”. Sepulang sholat Ied, aku mempersiapkan segala sesuatu untuk persiapan menyambut tamu yang akan hadir sebentar lagi. Ketika sedang menata meja dan karpet, tak disangka hadir tamu pertama yang mampir ke rumah. Dan dia adalah Ricky. Tak sendirian, ia datang bersama dengan kedua orang tuanya beserta kedua adiknya.
“Minal Aidin wal Faidzin ya Suf. Kalo gue ada salah sama lu, mohon dimaafin.”
“Iya, sebaliknya ya Rick.”
            Aku dan Ricky serta orang tua kami saling bahu membahu menata dan membersihkan ruangan. Selepas itu kami saling bersalaman kemudian berbincang-bincang di ruang tamu. Kedua adiknya berlarian ke sana ke mari dan sering ditegur oleh ayahnya, dan hanya dengan muka garangnya, bisa menenangkan kedua bocah kembar itu. Sungguh atmosfer yang berbeda dan cukup meriah.
Benar kata Ricky, bahwa bukankah perbedaan memberikan suatu “bumbu” yang mampu menjadikan kebersamaan lebih berwarna? Apa yang aku pikirkan dulu tentang minoritas di sekolah rupanya tidaklah benar terjadi. Semua teman di sekolah amat ramah, sikapnya begitu toleran dengan yang lain membuatku betah di sekolah.
“Lu masih inget gak masa-masa kita baru kenal?”
“Hmm, masih.”
“Lu grogian amat sama orang lain. Sampai sekarang masih aja gitu.”
“Hehe, entahlah.”
“Eh, lu suka sama Lois ya?”
“Hei!”
Entah bagaimana Ricky tahu hal itu. Ia jadi sering menggodaku setelah mengetahui hal tersebut. Menyebalkan, namun lucu juga. Bilangnya, ia sering mengawasiku dan suka curi-curi pandang. Memang sih Lois itu orangnya cantik. Bahkan di kelas ia banyak didekati oleh cowok-cowok. Bahkan Ricky pernah sekali memberikan surat kepada Lois dan tak pernah terbalas hingga sekarang.

Hari ini ditutup dengan kebahagiaan yang terpancar di hati dan pikiran kami, bahkan hingga keesokan harinya sekalipun. Ini adalah hari raya pertamaku bersama dengan Ricky sekeluarga. Momen setahun sekali yang cukup berbeda di tahun-tahun sebelumnya, dengan kehadiran sosok teman yang “berbeda” namun “sama”.

Penulis: Geby Yogita Aditya

0 Komentar